KUMPULAN KARYA SASTRAKU -->

Jumat, 30 Oktober 2015

Tidak Semua Yang Buruk Ialah Benar Buruk Adanya

Tidak Semua Yang Buruk Ialah Benar Buruk Adanya


 

                Di suatu desa terpencil, hidup seorang Kakek tua bersama cucu tunggal kesayangannya. Sang Kakek begitu sabar dalam mendidik akhlak Cucunya. Panggilah si Cucu dengan nama Achmad. Ia adalah anak yang cerdas, pemberani, dan penurut, terutama pada Kakeknya. Seperti Kakek yang amat menyayangi  Achmad, Achmad-pun amat menyayangi kakeknya, sebagai satu-satunya keluarga yang ia miliki juga sebagai guru dalam mengarungi hidup.
Sering kali Kakek menasihati Achmad tentang rasa syukur atas ni’mat yang telah Allah berikan dan selalu berbaik sangka kepada Allah, juga melihat kejadian dari segi ‘hikmah’ yang dapat diperolehnya, bukan malah berburuk sangka pada Sang Pencipta. Dan terus mengajarkan cara hidup yang bersahaja meski sebenarnya  Kakek adalah seorang pemimpin suku yang memiliki kuasa dan tentunya, harta yang lebih dari sekedar cukup untuk hidup mewah mereka berdua.
Desa tempat tinggal Achmad dan Kakek saat ini sedang dilanda kekeringan. Sumur-sumur warga menjadi kering. Tumbuh-tumbuhan layu bahkan tak sedikit pula yang mati, tanah yang mulanya subur menjadi tandus. Hewan-hewan ternak kurus seperti tak terurus. Sapi perah hanya mampu menghasilkan sedikit susu. Sungguh kemarau yang menyiksa. Sebagai Pemimpin desa tersebut, Kakek merasa harus bertanggung jawab memberikan solusi atas masalah ini. Akhirnya dengan musyawarah yang diadakan bersama seluruh warga, diambillah kesepakatan bahwa setiap  warga laki-laki dewasa harus ikut serta mengangkut dari sungai ke penampungan air terbesar, di tengah pemukiman agar warga dapat dengan mudah mendapatkan air bersih.
                Satu lagi sifat Kakek yang membuat Achmad kagum adalah, meskipun usianya sudah tidak terbilang muda, namun Kakek bersikeras membantu warga mengangkut air dari sungai. Suatu hari Achmad bingung melihat Kakeknya yang sedang melubangi ember dengan paku ukuran kecil. Padahal itu adalah ember yang biasa ia pakai untuk mengangkut air dari sungai ke tempat penampungan air. ‘Mungkin Kakek akan membuang ember itu dan mengganti dengan yang baru, mengingat ember itu memang sudah banyak tambalan di sisi kakan dan kirinya’ pikir Achmad. ‘Tapi kalau hendak dibuangnya, mengapa harus di lubangi dengan paku kecil ?’ Sekali lagi Achmad heran dengan tingkah Kakeknya.
                Keheranan Achmad-pun bertambah ketika melihat Kakek masih tetap menggunakan ember berlubang kecil itu untuk mengangkut air ke penampungan air warga. Karena kejadian itu masih berlanjut selama beberapa hari, akhirnya Achmad memberanikan diri untuk bertanya kepada Kakek saat sedang beristirahat di teras rumah mereka.
“Kakek, tidakkah Kakek melihat seberapa banyak air yang dapat Kakek kumpulkan dengan ember berlubang itu ? Kakek justru merepotkan diri sendiri, membuat badan Kakek semakin payah saking letihnya, selebihnya Kakek hanya dapat mengumpulkan air yang tidak lebih dari setengah ember setiap angkutannya. Apa Kakek tidak berfikir ?” Achmad berkata dengan nada iba bercampur heran.
Hal itu tidak lain Achmad katakan karena rasa sayangnya terhadap Kakek yang begitu besar, dan tidak ingin kesehatan Kakek semakin menurun. Sedang jauh di lubuk hatinya, Achmad merasa khawatir jika Kakek akan tersinggung dengan perkataannya barusan. Namun jika dilihat dari air mukanya, tidak sedikitpun Kakek terlihat tersinggung, justru sebaliknya, Kakek tersenyum hangat menanggapi perkataan cucu kesayangannya, seperti saat Kakek sedang menasihati Achmad dan bersiap menjawab pertanyaannya.
“Achmad cucu-ku yang pintar, sebelum Kakek menjawab, masuklah ke dalam ambil Al-Qur’an yang biasa kau baca” Perintah Kakek dengan senyum yang tetap terukir di wajah cerahnya.
Sekembalinya dengan membawa pesanan Kakek, Achmad langsung duduk di sebelah Kakek dan bersiap mendengar penjelasannya.
“Sekarang coba kau buka surat ke-dua pada ayat 216, kalau tak keberatan bacakan ayat itu beserta artinya, untuk Kakek”
 Tanpa membuat Kakek menunggu, Achmad langsung memenuhi permintaan Kakeknya.
‘Di wajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula)kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui’
“Baiklah Achmad cucu-ku, Kakek akan mengutip sebuah kalimat dari ayat yang tadi kau bacakan, Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Sekarang dengarkan perumpamaan yang akan Kakek jelaskan” Kakek menghela nafas sebentar, bersiap menjelaskan sebuah pelajaran penting kepada Achmad.
“Mungkin bagi siapapun yang tidak mengetahui alasan Kakek akan berburuk sangka pada Kakek, dan akan menyangka Kakek gila dan tidak berfikir atas apa yang Kakek lakukan. Namun taukah kau, Nak? Diantara mereka – mereka yang mencibir Kakek, mungkin ada beberapa makhluk Allah lainnya yang sangat bersyukur atas ni’mat yang Allah berikan dengan melibatkan Kakek sebagai perantaranya. Mari Kakek tunjukkan apa yang belum pernah kau lihat, dan mungkin belum pernah terpikirkan juga baik olehmu maupun oleh orang lain”
                Kakek beranjak dari duduknya sedang Achmad setelah meletakkan Kitab yang tadi bawa, dia langsung membuntuti Kakek yang melangkah dalam diam. Ternyata Kakek menuntun Achmad ke jalanan setapak yang biasa dilalui Kakek dan warga sekitar saat mengangkut air dari sungai ke penampungan air warga. Kemudian berhenti di tepian sungai dan berbalik menatap Achmad yang masih terdiam bingung menanggapi proses pembelajaran yang sedang Kakek tunjukan.
                “Nak, apa yang kau lihat sepanjang jalan menuju tempat ini ? Adakah sesuatu yang menarik perhatianmu ?”
                Pertanyaan Kakek semakin membuat Achmad bingung. Sedari tadi Achmad hanya memikirkan atas apa yang akan Kakek tunjukkan hingga sepanjang jalan tidak sedikitpun memperhatikan sekitarnya selain Kakek yang berjalan takzim di hadapannya. Cara seperti ini memang selalu Kakek gunakan saat akan menyampaikan nasihat pada Achmad. Selalu dengan sabar menuntun Achmad agar menemukan sebuah jawaban melalui proses secara langsung, bukan hanya mengandalkan mulut orang lain untuk menjelaskannya. Meski masih belum menemukan apa yang Kakek maksud, Achmad justru semakin antusias menunggu Kakek menuntunnya mencari jawaban secara langsung.
                “Maaf Kek, Achmad terlalu penasaran dengan apa yang akan Kakek tunjukkan, hingga tidak memperhatikan apapun selain Kakek”
                “Baiklah kalau begitu, kembalilah berjalan dari sini menuju tempat penampungan air, jika masih belum menemukan apapun yang membuatmu tertarik, maka kembalilah berjalan menapaki jalan ini hingga menemukan apa yang Kakek maksud. Dan Kakek akan menunggu jawabanmu di sini. Pergilah, Nak” Jawab Kakek dengan wajah cerah di celah – celah kulit kendurnya.
                Achmad bergegas menuju tempat penampungan air, berpikir bahwa mungkin saja jawaban yang Achmad cari ada di tempat penampungan air. Tanpa ingin membuang waktu, Achmad berlari ke tujuannya. Sesampainya di sana, Achmad mencari sesuatu yang bahkan wujudnya-pun tak ia ketahui. Hingga beberapa saat Achmad mulai lelah mencari sesuatu yang tak pasti. Sesuai dengan pesan Kakeknya, Achmad kembali berjalan dari tempat penampungan air sampai ke sungai, tempat Kakek menunggu jawaban yang bahkan belum bisa ia temukan, namun kali ini dengan sedikit menggerutu dan mulai kehilangan kesabaran.
                Sesampainya di sungai, Achmad langsung menemui Kakeknya. Belum sempat Achmad bersuara, Kakek telah tersenyum menyambut cucunya.
                “Tidak perlu bermuka masam ketika tidak mendapatkan apa yang kamu inginkan, Nak” Lagi-lagi senyum Kakek mengembang.
                “Bahkan aku sudah berjalan berulang kali menyusuri jalan setapak itu, tapi tetap saja aku tidak mendapat apapun yang menurutku menarik. Semua sama saja bagiku”
                Kakek dengan tetap tersenyum menjawab, “ Nak, Kakekmu yang tua renta ini telah kepayahan menunggu jawaban darimu di bawah terik matahari, apakah kau mau berbaik hati menuntun Kakek secara perlahan untuk kembali pulang ? Setibanya di rumah nanti, Kakek akan menjelaskan jawaban dari pertanyaanmu, jika kau masih belum menemukan jawabannya juga. Bagaimana ?”
                “Baiklah, Kek”
                Achmad mulai berjalan dengan jemari yang erat menggenggam tangan Kakeknya. Ia menikmati perjalanan santai bersama Kakek kesayangannya. Meski sempat kesal dengan cara Kakek mendidiknya, namun Achmad teramat sayang untuk dapat marah kepada Kakenya. Ia menuntun Kakeknya dengan perasaan senang, selain karena hal yang di ucapkan Kakeknya tadi (akan menjelaskan setibanya di rumah nanti), Achmad-pun senang bisa menjadi cucu yang (menurutnya) amat berarti bagi Kakeknya hingga menjadi penuntun jalan Kakek meski hanya berjarak beberapa meter (dari sungai menuju rumah mereka).
                Di tengah perjalanan tiba-tiba Achmad berhenti. Dan kemudian terpekik menyadari sesuatu.
                “Kek, lihat betapa cantiknya bunga ini, sudah lama Achmad tidak melihat bunga mekar akibat kemarau panjang di desa kita!” Achmad berjongkok mengamati bunga di pinggiran jalan setapak itu.
                “Indah bukan ?” Kakek tersenyum.
                Achmad mengangguk dan kemudian melanjutkan langkahnya kembali ke rumah. Namun sekali lagi ia berhenti dan mengamati sesuatu.
                “Kek, lihat sapi-sapi ternak itu, mereka kini lebih gemuk dari beberapa hari yang lalu” Achmad menunjuk antusias pada sapi-sapi ternak yang sedang menikmati dedaunan di pinggiran jalan setapak yang mereka lewati.
                Lagi-lagi Kakek hanya tersenyum menanggapi sikap cucunya yang terlihat antusias menuntunnya menuju rumah mereka.
                Namun tiba-tiba Achmad berhenti lagi dan kali ini ia tampak berfikir sejenak sebelum akhirnya menengadahkan wajahnya menatap Kakek penuh arti.
                “Inikah yang Kakek maksud ? Yang Kakek inginkan aku menjawabnya sehingga menyuruhku berjalan melewati jalanan ini berulang kali ? Apa ini alasan Kakek melubangi ember pengangkut air dengan paku kecil ?”
                “Kau tau ? Kau sebenarnya lebih cerdas dari yang kau bayangkan, cucuku. Hanya saja kau terlalu membatasi dirimu sendiri” Jawab Kakek.
                “Kakek yang telah mengajarkanku”
                Kakek tersenyum penuh arti.
                “Mungkin bagi sebagian orang yang mengetahui apa yang Kakek lakukan, mereka akan menyangka kalau Kakek adalah si tua renta yang bodoh, dan mungkin ada pula yang berfikir bahwa Kakek telah berbuat curang, melubangi ember pengangkut air agar air yang Kakek bawa tidak terlalu banyak dan Kakek tidak akan kepayahan. Tapi di balik itu semua, alasan Kakek melubangi ember dengan paku kecil, agar Kakek dapat berbagi rizki yang Allah turunkan kepada tumbuhan dan hewan yang juga makhluk Allah, dengan cara yang kini sudah kau ketahui. Lelah memang, mengangkut air berulang kali dan hanya mendapatkan sedikit dari apa yang telah diangkut, namun apa yang menurut Kakek, kamu dan orang lain fikirkan, bukan hanya sebuah hal bodoh. Lebih dari apa yang kita ketahui, ada banyak manfaat dan kebaikan di balik hal tersebut. Sebagaimana ayat yang telah kau bacakan pada Kakek tadi, Nak. Ketika kau menyukai sesuatu boleh jadi sesuatu itu buruk adanya, begitupun sebaliknya, bisa jadi kau membenci sesuatu, padahal sesuatu itu amatlah baik lagi banyak manfaatnya”
                Achmad seketika memasang mimik muka muram. “Seharusnya Achmad bisa mengetahui hal ini sejak pertama melewati jalan ini tadi Kek. Achmad bodoh!”
                “Jangan sekali-kali merutuki ciptaan Allah, Nak. Kau tidaklah bodoh, sama sekali tidak bodoh, hanya saja kau terlalu tergesa-gesa hingga memudarlah rasa sabarmu itu”
                Achmad tersenyum puas dan seketika memeluk Kakeknya. 

                “Mari Kek. Segerakan sampai di rumah, maka Achmad akan menyarankan semua warga agar melubangi ember pengangkut air mereka dengan paku kecil, supaya semakin banyak manfaat yang kita tebar pada sesama makhluk Allah”
                Keduanya berjalan dengan penuh rasa syukur dalam dadanya.

***
                Alhamdulillah, seberapa kali-pun kita ucap lafadz tersebut tidak akan sebanding dengan apa yang telah Allah berikan pada kita. Nafas yang dapat dihirup sebebas-bebasnya, sinar mentari yang setiap pagi datang menyapa tanpa ingkar barang sehari-pun, air dengan rasa tawar yang dapat selalu menghilangkan dahaga, hujan yang senantiasa membasahi tanah tandus, tak luput semua apa yang melekat pada diri kita.
                Mata yang senantiasa melihat indahnya ciptaan-Nya, hidung yang senantiasa menghirup oksigen tanpa khawatir akan biaya, mulut yang senantiasa dapat berucap mengatakan perkataan yang bermanfaat, telinga yang senantiasa mendengar hal-hal baik, kulit yang senantiasa peka merasakan semilir angin ciptaan-Nya, dan masih banyak lagi ni’mat tak terhitung lainnya, yang apabila kita tulis dengan air gabungan seluruh samudera sebagai tintanya, maka tak akan pernah cukup untuk menuliskannya.
                Maha Suci Allah dengan segala Kuasa dan Kemurahannya, dengan segala Ciptaan dan Kasih Sayang-Nya. Sungguh malulah kiranya jika kita masih melalaikan apa yang Dia perintahkan dan melanggar apa yang Dia larangkan.
                Demikian kisah yang dapat saya lukiskan untuk menggambarkan bertapa Kuasanya Allah, KemahaTahuanNYA, KemurahanNYa dan Kasih SayangNYA. Semoga kita semua tergolong umat yang senantiasa bersyukur dan sadar akan ketidaktahuan kita atas hal-hal yang Allah berikan. Bersama kita harapkan ridho Allah, hingga sudilah Ia mengizinkan kita semua memandang WajahNya kelak. Amiin :)

1 komentar:

  1. Ceu... nge blog lagi lah... tentang hidup baru gitu jadi istri & calon ibu... hehheeh

    BalasHapus