Tidak Semua Yang Buruk Ialah Benar Buruk Adanya
Di
suatu desa terpencil, hidup seorang Kakek tua bersama cucu tunggal
kesayangannya. Sang Kakek begitu sabar dalam mendidik akhlak Cucunya. Panggilah
si Cucu dengan nama Achmad. Ia adalah anak yang cerdas, pemberani, dan penurut,
terutama pada Kakeknya. Seperti Kakek yang amat menyayangi Achmad, Achmad-pun amat menyayangi kakeknya,
sebagai satu-satunya keluarga yang ia miliki juga sebagai guru dalam mengarungi
hidup.
Sering kali Kakek menasihati
Achmad tentang rasa syukur atas ni’mat yang telah Allah berikan dan selalu
berbaik sangka kepada Allah, juga melihat kejadian dari segi ‘hikmah’ yang
dapat diperolehnya, bukan malah berburuk sangka pada Sang Pencipta. Dan terus mengajarkan
cara hidup yang bersahaja meski sebenarnya
Kakek adalah seorang pemimpin suku yang memiliki kuasa dan tentunya,
harta yang lebih dari sekedar cukup untuk hidup mewah mereka berdua.
Desa tempat tinggal Achmad dan
Kakek saat ini sedang dilanda kekeringan. Sumur-sumur warga menjadi kering.
Tumbuh-tumbuhan layu bahkan tak sedikit pula yang mati, tanah yang mulanya
subur menjadi tandus. Hewan-hewan ternak kurus seperti tak terurus. Sapi perah
hanya mampu menghasilkan sedikit susu. Sungguh kemarau yang menyiksa. Sebagai
Pemimpin desa tersebut, Kakek merasa harus bertanggung jawab memberikan solusi
atas masalah ini. Akhirnya dengan musyawarah yang diadakan bersama seluruh
warga, diambillah kesepakatan bahwa setiap
warga laki-laki dewasa harus ikut serta mengangkut dari sungai ke penampungan
air terbesar, di tengah pemukiman agar warga dapat dengan mudah mendapatkan air
bersih.
Satu
lagi sifat Kakek yang membuat Achmad kagum adalah, meskipun usianya sudah tidak
terbilang muda, namun Kakek bersikeras membantu warga mengangkut air dari
sungai. Suatu hari Achmad bingung melihat Kakeknya yang sedang melubangi ember
dengan paku ukuran kecil. Padahal itu adalah ember yang biasa ia pakai untuk
mengangkut air dari sungai ke tempat penampungan air. ‘Mungkin Kakek akan
membuang ember itu dan mengganti dengan yang baru, mengingat ember itu memang
sudah banyak tambalan di sisi kakan dan kirinya’ pikir Achmad. ‘Tapi kalau
hendak dibuangnya, mengapa harus di lubangi dengan paku kecil ?’ Sekali lagi
Achmad heran dengan tingkah Kakeknya.
Keheranan
Achmad-pun bertambah ketika melihat Kakek masih tetap menggunakan ember berlubang
kecil itu untuk mengangkut air ke penampungan air warga. Karena kejadian itu
masih berlanjut selama beberapa hari, akhirnya Achmad memberanikan diri untuk
bertanya kepada Kakek saat sedang beristirahat di teras rumah mereka.
“Kakek, tidakkah Kakek melihat
seberapa banyak air yang dapat Kakek kumpulkan dengan ember berlubang itu ?
Kakek justru merepotkan diri sendiri, membuat badan Kakek semakin payah saking
letihnya, selebihnya Kakek hanya dapat mengumpulkan air yang tidak lebih dari
setengah ember setiap angkutannya. Apa Kakek tidak berfikir ?” Achmad berkata
dengan nada iba bercampur heran.
Hal itu tidak lain Achmad katakan
karena rasa sayangnya terhadap Kakek yang begitu besar, dan tidak ingin
kesehatan Kakek semakin menurun. Sedang jauh di lubuk hatinya, Achmad merasa
khawatir jika Kakek akan tersinggung dengan perkataannya barusan. Namun jika
dilihat dari air mukanya, tidak sedikitpun Kakek terlihat tersinggung, justru
sebaliknya, Kakek tersenyum hangat menanggapi perkataan cucu kesayangannya,
seperti saat Kakek sedang menasihati Achmad dan bersiap menjawab pertanyaannya.
“Achmad cucu-ku yang pintar, sebelum
Kakek menjawab, masuklah ke dalam ambil Al-Qur’an yang biasa kau baca” Perintah
Kakek dengan senyum yang tetap terukir di wajah cerahnya.
Sekembalinya dengan membawa
pesanan Kakek, Achmad langsung duduk di sebelah Kakek dan bersiap mendengar
penjelasannya.
“Sekarang coba kau buka surat
ke-dua pada ayat 216, kalau tak keberatan bacakan ayat itu beserta artinya,
untuk Kakek”
Tanpa membuat Kakek menunggu, Achmad langsung
memenuhi permintaan Kakeknya.
‘Di wajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu
yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu,
dan boleh jadi (pula)kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui’
“Baiklah Achmad cucu-ku, Kakek
akan mengutip sebuah kalimat dari ayat yang tadi kau bacakan, Boleh jadi kamu
membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai
sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Sekarang dengarkan perumpamaan yang akan
Kakek jelaskan” Kakek menghela nafas sebentar, bersiap menjelaskan sebuah
pelajaran penting kepada Achmad.
“Mungkin bagi siapapun yang tidak
mengetahui alasan Kakek akan berburuk sangka pada Kakek, dan akan menyangka
Kakek gila dan tidak berfikir atas apa yang Kakek lakukan. Namun taukah kau,
Nak? Diantara mereka – mereka yang mencibir Kakek, mungkin ada beberapa makhluk
Allah lainnya yang sangat bersyukur atas ni’mat yang Allah berikan dengan
melibatkan Kakek sebagai perantaranya. Mari Kakek tunjukkan apa yang belum
pernah kau lihat, dan mungkin belum pernah terpikirkan juga baik olehmu maupun
oleh orang lain”
Kakek
beranjak dari duduknya sedang Achmad setelah meletakkan Kitab yang tadi bawa,
dia langsung membuntuti Kakek yang melangkah dalam diam. Ternyata Kakek
menuntun Achmad ke jalanan setapak yang biasa dilalui Kakek dan warga sekitar
saat mengangkut air dari sungai ke penampungan air warga. Kemudian berhenti di
tepian sungai dan berbalik menatap Achmad yang masih terdiam bingung menanggapi
proses pembelajaran yang sedang Kakek tunjukan.
“Nak,
apa yang kau lihat sepanjang jalan menuju tempat ini ? Adakah sesuatu yang
menarik perhatianmu ?”
Pertanyaan
Kakek semakin membuat Achmad bingung. Sedari tadi Achmad hanya memikirkan atas
apa yang akan Kakek tunjukkan hingga sepanjang jalan tidak sedikitpun
memperhatikan sekitarnya selain Kakek yang berjalan takzim di hadapannya. Cara
seperti ini memang selalu Kakek gunakan saat akan menyampaikan nasihat pada
Achmad. Selalu dengan sabar menuntun Achmad agar menemukan sebuah jawaban
melalui proses secara langsung, bukan hanya mengandalkan mulut orang lain untuk
menjelaskannya. Meski masih belum menemukan apa yang Kakek maksud, Achmad
justru semakin antusias menunggu Kakek menuntunnya mencari jawaban secara
langsung.
“Maaf
Kek, Achmad terlalu penasaran dengan apa yang akan Kakek tunjukkan, hingga
tidak memperhatikan apapun selain Kakek”
“Baiklah
kalau begitu, kembalilah berjalan dari sini menuju tempat penampungan air, jika
masih belum menemukan apapun yang membuatmu tertarik, maka kembalilah berjalan
menapaki jalan ini hingga menemukan apa yang Kakek maksud. Dan Kakek akan
menunggu jawabanmu di sini. Pergilah, Nak” Jawab Kakek dengan wajah cerah di
celah – celah kulit kendurnya.
Achmad
bergegas menuju tempat penampungan air, berpikir bahwa mungkin saja jawaban
yang Achmad cari ada di tempat penampungan air. Tanpa ingin membuang waktu,
Achmad berlari ke tujuannya. Sesampainya di sana, Achmad mencari sesuatu yang
bahkan wujudnya-pun tak ia ketahui. Hingga beberapa saat Achmad mulai lelah
mencari sesuatu yang tak pasti. Sesuai dengan pesan Kakeknya, Achmad kembali
berjalan dari tempat penampungan air sampai ke sungai, tempat Kakek menunggu
jawaban yang bahkan belum bisa ia temukan, namun kali ini dengan sedikit
menggerutu dan mulai kehilangan kesabaran.
Sesampainya
di sungai, Achmad langsung menemui Kakeknya. Belum sempat Achmad bersuara,
Kakek telah tersenyum menyambut cucunya.
“Tidak
perlu bermuka masam ketika tidak mendapatkan apa yang kamu inginkan, Nak”
Lagi-lagi senyum Kakek mengembang.
“Bahkan
aku sudah berjalan berulang kali menyusuri jalan setapak itu, tapi tetap saja
aku tidak mendapat apapun yang menurutku menarik. Semua sama saja bagiku”
Kakek
dengan tetap tersenyum menjawab, “ Nak, Kakekmu yang tua renta ini telah
kepayahan menunggu jawaban darimu di bawah terik matahari, apakah kau mau
berbaik hati menuntun Kakek secara perlahan untuk kembali pulang ? Setibanya di
rumah nanti, Kakek akan menjelaskan jawaban dari pertanyaanmu, jika kau masih
belum menemukan jawabannya juga. Bagaimana ?”
“Baiklah,
Kek”
Achmad
mulai berjalan dengan jemari yang erat menggenggam tangan Kakeknya. Ia
menikmati perjalanan santai bersama Kakek kesayangannya. Meski sempat kesal
dengan cara Kakek mendidiknya, namun Achmad teramat sayang untuk dapat marah
kepada Kakenya. Ia menuntun Kakeknya dengan perasaan senang, selain karena hal
yang di ucapkan Kakeknya tadi (akan menjelaskan setibanya di rumah nanti),
Achmad-pun senang bisa menjadi cucu yang (menurutnya) amat berarti bagi
Kakeknya hingga menjadi penuntun jalan Kakek meski hanya berjarak beberapa
meter (dari sungai menuju rumah mereka).
Di
tengah perjalanan tiba-tiba Achmad berhenti. Dan kemudian terpekik menyadari
sesuatu.
“Kek, lihat
betapa cantiknya bunga ini, sudah lama Achmad tidak melihat bunga mekar akibat
kemarau panjang di desa kita!” Achmad berjongkok mengamati bunga di pinggiran
jalan setapak itu.
“Indah
bukan ?” Kakek tersenyum.
Achmad
mengangguk dan kemudian melanjutkan langkahnya kembali ke rumah. Namun sekali
lagi ia berhenti dan mengamati sesuatu.
“Kek,
lihat sapi-sapi ternak itu, mereka kini lebih gemuk dari beberapa hari yang
lalu” Achmad menunjuk antusias pada sapi-sapi ternak yang sedang menikmati
dedaunan di pinggiran jalan setapak yang mereka lewati.
Lagi-lagi
Kakek hanya tersenyum menanggapi sikap cucunya yang terlihat antusias
menuntunnya menuju rumah mereka.
Namun tiba-tiba
Achmad berhenti lagi dan kali ini ia tampak berfikir sejenak sebelum akhirnya
menengadahkan wajahnya menatap Kakek penuh arti.
“Inikah
yang Kakek maksud ? Yang Kakek inginkan aku menjawabnya sehingga menyuruhku
berjalan melewati jalanan ini berulang kali ? Apa ini alasan Kakek melubangi
ember pengangkut air dengan paku kecil ?”
“Kau
tau ? Kau sebenarnya lebih cerdas dari yang kau bayangkan, cucuku. Hanya saja
kau terlalu membatasi dirimu sendiri” Jawab Kakek.
“Kakek
yang telah mengajarkanku”
Kakek
tersenyum penuh arti.
“Mungkin
bagi sebagian orang yang mengetahui apa yang Kakek lakukan, mereka akan
menyangka kalau Kakek adalah si tua renta yang bodoh, dan mungkin ada pula yang
berfikir bahwa Kakek telah berbuat curang, melubangi ember pengangkut air agar
air yang Kakek bawa tidak terlalu banyak dan Kakek tidak akan kepayahan. Tapi
di balik itu semua, alasan Kakek melubangi ember dengan paku kecil, agar Kakek
dapat berbagi rizki yang Allah turunkan kepada tumbuhan dan hewan yang juga
makhluk Allah, dengan cara yang kini sudah kau ketahui. Lelah memang,
mengangkut air berulang kali dan hanya mendapatkan sedikit dari apa yang telah
diangkut, namun apa yang menurut Kakek, kamu dan orang lain fikirkan, bukan
hanya sebuah hal bodoh. Lebih dari apa yang kita ketahui, ada banyak manfaat
dan kebaikan di balik hal tersebut. Sebagaimana ayat yang telah kau bacakan
pada Kakek tadi, Nak. Ketika kau menyukai sesuatu boleh jadi sesuatu itu buruk
adanya, begitupun sebaliknya, bisa jadi kau membenci sesuatu, padahal sesuatu
itu amatlah baik lagi banyak manfaatnya”
Achmad
seketika memasang mimik muka muram. “Seharusnya Achmad bisa mengetahui hal ini
sejak pertama melewati jalan ini tadi Kek. Achmad bodoh!”
“Jangan
sekali-kali merutuki ciptaan Allah, Nak. Kau tidaklah bodoh, sama sekali tidak
bodoh, hanya saja kau terlalu tergesa-gesa hingga memudarlah rasa sabarmu itu”
Achmad
tersenyum puas dan seketika memeluk Kakeknya.
“Mari
Kek. Segerakan sampai di rumah, maka Achmad akan menyarankan semua warga agar
melubangi ember pengangkut air mereka dengan paku kecil, supaya semakin banyak
manfaat yang kita tebar pada sesama makhluk Allah”
Keduanya
berjalan dengan penuh rasa syukur dalam dadanya.
***
Alhamdulillah,
seberapa kali-pun kita ucap lafadz tersebut tidak akan sebanding dengan apa
yang telah Allah berikan pada kita. Nafas yang dapat dihirup sebebas-bebasnya,
sinar mentari yang setiap pagi datang menyapa tanpa ingkar barang sehari-pun,
air dengan rasa tawar yang dapat selalu menghilangkan dahaga, hujan yang
senantiasa membasahi tanah tandus, tak luput semua apa yang melekat pada diri
kita.
Mata
yang senantiasa melihat indahnya ciptaan-Nya, hidung yang senantiasa menghirup
oksigen tanpa khawatir akan biaya, mulut yang senantiasa dapat berucap mengatakan
perkataan yang bermanfaat, telinga yang senantiasa mendengar hal-hal baik,
kulit yang senantiasa peka merasakan semilir angin ciptaan-Nya, dan masih banyak
lagi ni’mat tak terhitung lainnya, yang apabila kita tulis dengan air gabungan
seluruh samudera sebagai tintanya, maka tak akan pernah cukup untuk
menuliskannya.
Maha
Suci Allah dengan segala Kuasa dan Kemurahannya, dengan segala Ciptaan dan Kasih
Sayang-Nya. Sungguh malulah kiranya jika kita masih melalaikan apa yang Dia
perintahkan dan melanggar apa yang Dia larangkan.
Demikian
kisah yang dapat saya lukiskan untuk menggambarkan bertapa Kuasanya Allah,
KemahaTahuanNYA, KemurahanNYa dan Kasih SayangNYA. Semoga kita semua tergolong
umat yang senantiasa bersyukur dan sadar akan ketidaktahuan kita atas hal-hal
yang Allah berikan. Bersama kita harapkan ridho Allah, hingga sudilah Ia
mengizinkan kita semua memandang WajahNya kelak. Amiin :)