KUMPULAN KARYA SASTRAKU -->

Jumat, 30 Oktober 2015

Tidak Semua Yang Buruk Ialah Benar Buruk Adanya

Tidak Semua Yang Buruk Ialah Benar Buruk Adanya


 

                Di suatu desa terpencil, hidup seorang Kakek tua bersama cucu tunggal kesayangannya. Sang Kakek begitu sabar dalam mendidik akhlak Cucunya. Panggilah si Cucu dengan nama Achmad. Ia adalah anak yang cerdas, pemberani, dan penurut, terutama pada Kakeknya. Seperti Kakek yang amat menyayangi  Achmad, Achmad-pun amat menyayangi kakeknya, sebagai satu-satunya keluarga yang ia miliki juga sebagai guru dalam mengarungi hidup.
Sering kali Kakek menasihati Achmad tentang rasa syukur atas ni’mat yang telah Allah berikan dan selalu berbaik sangka kepada Allah, juga melihat kejadian dari segi ‘hikmah’ yang dapat diperolehnya, bukan malah berburuk sangka pada Sang Pencipta. Dan terus mengajarkan cara hidup yang bersahaja meski sebenarnya  Kakek adalah seorang pemimpin suku yang memiliki kuasa dan tentunya, harta yang lebih dari sekedar cukup untuk hidup mewah mereka berdua.
Desa tempat tinggal Achmad dan Kakek saat ini sedang dilanda kekeringan. Sumur-sumur warga menjadi kering. Tumbuh-tumbuhan layu bahkan tak sedikit pula yang mati, tanah yang mulanya subur menjadi tandus. Hewan-hewan ternak kurus seperti tak terurus. Sapi perah hanya mampu menghasilkan sedikit susu. Sungguh kemarau yang menyiksa. Sebagai Pemimpin desa tersebut, Kakek merasa harus bertanggung jawab memberikan solusi atas masalah ini. Akhirnya dengan musyawarah yang diadakan bersama seluruh warga, diambillah kesepakatan bahwa setiap  warga laki-laki dewasa harus ikut serta mengangkut dari sungai ke penampungan air terbesar, di tengah pemukiman agar warga dapat dengan mudah mendapatkan air bersih.
                Satu lagi sifat Kakek yang membuat Achmad kagum adalah, meskipun usianya sudah tidak terbilang muda, namun Kakek bersikeras membantu warga mengangkut air dari sungai. Suatu hari Achmad bingung melihat Kakeknya yang sedang melubangi ember dengan paku ukuran kecil. Padahal itu adalah ember yang biasa ia pakai untuk mengangkut air dari sungai ke tempat penampungan air. ‘Mungkin Kakek akan membuang ember itu dan mengganti dengan yang baru, mengingat ember itu memang sudah banyak tambalan di sisi kakan dan kirinya’ pikir Achmad. ‘Tapi kalau hendak dibuangnya, mengapa harus di lubangi dengan paku kecil ?’ Sekali lagi Achmad heran dengan tingkah Kakeknya.
                Keheranan Achmad-pun bertambah ketika melihat Kakek masih tetap menggunakan ember berlubang kecil itu untuk mengangkut air ke penampungan air warga. Karena kejadian itu masih berlanjut selama beberapa hari, akhirnya Achmad memberanikan diri untuk bertanya kepada Kakek saat sedang beristirahat di teras rumah mereka.
“Kakek, tidakkah Kakek melihat seberapa banyak air yang dapat Kakek kumpulkan dengan ember berlubang itu ? Kakek justru merepotkan diri sendiri, membuat badan Kakek semakin payah saking letihnya, selebihnya Kakek hanya dapat mengumpulkan air yang tidak lebih dari setengah ember setiap angkutannya. Apa Kakek tidak berfikir ?” Achmad berkata dengan nada iba bercampur heran.
Hal itu tidak lain Achmad katakan karena rasa sayangnya terhadap Kakek yang begitu besar, dan tidak ingin kesehatan Kakek semakin menurun. Sedang jauh di lubuk hatinya, Achmad merasa khawatir jika Kakek akan tersinggung dengan perkataannya barusan. Namun jika dilihat dari air mukanya, tidak sedikitpun Kakek terlihat tersinggung, justru sebaliknya, Kakek tersenyum hangat menanggapi perkataan cucu kesayangannya, seperti saat Kakek sedang menasihati Achmad dan bersiap menjawab pertanyaannya.
“Achmad cucu-ku yang pintar, sebelum Kakek menjawab, masuklah ke dalam ambil Al-Qur’an yang biasa kau baca” Perintah Kakek dengan senyum yang tetap terukir di wajah cerahnya.
Sekembalinya dengan membawa pesanan Kakek, Achmad langsung duduk di sebelah Kakek dan bersiap mendengar penjelasannya.
“Sekarang coba kau buka surat ke-dua pada ayat 216, kalau tak keberatan bacakan ayat itu beserta artinya, untuk Kakek”
 Tanpa membuat Kakek menunggu, Achmad langsung memenuhi permintaan Kakeknya.
‘Di wajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula)kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui’
“Baiklah Achmad cucu-ku, Kakek akan mengutip sebuah kalimat dari ayat yang tadi kau bacakan, Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Sekarang dengarkan perumpamaan yang akan Kakek jelaskan” Kakek menghela nafas sebentar, bersiap menjelaskan sebuah pelajaran penting kepada Achmad.
“Mungkin bagi siapapun yang tidak mengetahui alasan Kakek akan berburuk sangka pada Kakek, dan akan menyangka Kakek gila dan tidak berfikir atas apa yang Kakek lakukan. Namun taukah kau, Nak? Diantara mereka – mereka yang mencibir Kakek, mungkin ada beberapa makhluk Allah lainnya yang sangat bersyukur atas ni’mat yang Allah berikan dengan melibatkan Kakek sebagai perantaranya. Mari Kakek tunjukkan apa yang belum pernah kau lihat, dan mungkin belum pernah terpikirkan juga baik olehmu maupun oleh orang lain”
                Kakek beranjak dari duduknya sedang Achmad setelah meletakkan Kitab yang tadi bawa, dia langsung membuntuti Kakek yang melangkah dalam diam. Ternyata Kakek menuntun Achmad ke jalanan setapak yang biasa dilalui Kakek dan warga sekitar saat mengangkut air dari sungai ke penampungan air warga. Kemudian berhenti di tepian sungai dan berbalik menatap Achmad yang masih terdiam bingung menanggapi proses pembelajaran yang sedang Kakek tunjukan.
                “Nak, apa yang kau lihat sepanjang jalan menuju tempat ini ? Adakah sesuatu yang menarik perhatianmu ?”
                Pertanyaan Kakek semakin membuat Achmad bingung. Sedari tadi Achmad hanya memikirkan atas apa yang akan Kakek tunjukkan hingga sepanjang jalan tidak sedikitpun memperhatikan sekitarnya selain Kakek yang berjalan takzim di hadapannya. Cara seperti ini memang selalu Kakek gunakan saat akan menyampaikan nasihat pada Achmad. Selalu dengan sabar menuntun Achmad agar menemukan sebuah jawaban melalui proses secara langsung, bukan hanya mengandalkan mulut orang lain untuk menjelaskannya. Meski masih belum menemukan apa yang Kakek maksud, Achmad justru semakin antusias menunggu Kakek menuntunnya mencari jawaban secara langsung.
                “Maaf Kek, Achmad terlalu penasaran dengan apa yang akan Kakek tunjukkan, hingga tidak memperhatikan apapun selain Kakek”
                “Baiklah kalau begitu, kembalilah berjalan dari sini menuju tempat penampungan air, jika masih belum menemukan apapun yang membuatmu tertarik, maka kembalilah berjalan menapaki jalan ini hingga menemukan apa yang Kakek maksud. Dan Kakek akan menunggu jawabanmu di sini. Pergilah, Nak” Jawab Kakek dengan wajah cerah di celah – celah kulit kendurnya.
                Achmad bergegas menuju tempat penampungan air, berpikir bahwa mungkin saja jawaban yang Achmad cari ada di tempat penampungan air. Tanpa ingin membuang waktu, Achmad berlari ke tujuannya. Sesampainya di sana, Achmad mencari sesuatu yang bahkan wujudnya-pun tak ia ketahui. Hingga beberapa saat Achmad mulai lelah mencari sesuatu yang tak pasti. Sesuai dengan pesan Kakeknya, Achmad kembali berjalan dari tempat penampungan air sampai ke sungai, tempat Kakek menunggu jawaban yang bahkan belum bisa ia temukan, namun kali ini dengan sedikit menggerutu dan mulai kehilangan kesabaran.
                Sesampainya di sungai, Achmad langsung menemui Kakeknya. Belum sempat Achmad bersuara, Kakek telah tersenyum menyambut cucunya.
                “Tidak perlu bermuka masam ketika tidak mendapatkan apa yang kamu inginkan, Nak” Lagi-lagi senyum Kakek mengembang.
                “Bahkan aku sudah berjalan berulang kali menyusuri jalan setapak itu, tapi tetap saja aku tidak mendapat apapun yang menurutku menarik. Semua sama saja bagiku”
                Kakek dengan tetap tersenyum menjawab, “ Nak, Kakekmu yang tua renta ini telah kepayahan menunggu jawaban darimu di bawah terik matahari, apakah kau mau berbaik hati menuntun Kakek secara perlahan untuk kembali pulang ? Setibanya di rumah nanti, Kakek akan menjelaskan jawaban dari pertanyaanmu, jika kau masih belum menemukan jawabannya juga. Bagaimana ?”
                “Baiklah, Kek”
                Achmad mulai berjalan dengan jemari yang erat menggenggam tangan Kakeknya. Ia menikmati perjalanan santai bersama Kakek kesayangannya. Meski sempat kesal dengan cara Kakek mendidiknya, namun Achmad teramat sayang untuk dapat marah kepada Kakenya. Ia menuntun Kakeknya dengan perasaan senang, selain karena hal yang di ucapkan Kakeknya tadi (akan menjelaskan setibanya di rumah nanti), Achmad-pun senang bisa menjadi cucu yang (menurutnya) amat berarti bagi Kakeknya hingga menjadi penuntun jalan Kakek meski hanya berjarak beberapa meter (dari sungai menuju rumah mereka).
                Di tengah perjalanan tiba-tiba Achmad berhenti. Dan kemudian terpekik menyadari sesuatu.
                “Kek, lihat betapa cantiknya bunga ini, sudah lama Achmad tidak melihat bunga mekar akibat kemarau panjang di desa kita!” Achmad berjongkok mengamati bunga di pinggiran jalan setapak itu.
                “Indah bukan ?” Kakek tersenyum.
                Achmad mengangguk dan kemudian melanjutkan langkahnya kembali ke rumah. Namun sekali lagi ia berhenti dan mengamati sesuatu.
                “Kek, lihat sapi-sapi ternak itu, mereka kini lebih gemuk dari beberapa hari yang lalu” Achmad menunjuk antusias pada sapi-sapi ternak yang sedang menikmati dedaunan di pinggiran jalan setapak yang mereka lewati.
                Lagi-lagi Kakek hanya tersenyum menanggapi sikap cucunya yang terlihat antusias menuntunnya menuju rumah mereka.
                Namun tiba-tiba Achmad berhenti lagi dan kali ini ia tampak berfikir sejenak sebelum akhirnya menengadahkan wajahnya menatap Kakek penuh arti.
                “Inikah yang Kakek maksud ? Yang Kakek inginkan aku menjawabnya sehingga menyuruhku berjalan melewati jalanan ini berulang kali ? Apa ini alasan Kakek melubangi ember pengangkut air dengan paku kecil ?”
                “Kau tau ? Kau sebenarnya lebih cerdas dari yang kau bayangkan, cucuku. Hanya saja kau terlalu membatasi dirimu sendiri” Jawab Kakek.
                “Kakek yang telah mengajarkanku”
                Kakek tersenyum penuh arti.
                “Mungkin bagi sebagian orang yang mengetahui apa yang Kakek lakukan, mereka akan menyangka kalau Kakek adalah si tua renta yang bodoh, dan mungkin ada pula yang berfikir bahwa Kakek telah berbuat curang, melubangi ember pengangkut air agar air yang Kakek bawa tidak terlalu banyak dan Kakek tidak akan kepayahan. Tapi di balik itu semua, alasan Kakek melubangi ember dengan paku kecil, agar Kakek dapat berbagi rizki yang Allah turunkan kepada tumbuhan dan hewan yang juga makhluk Allah, dengan cara yang kini sudah kau ketahui. Lelah memang, mengangkut air berulang kali dan hanya mendapatkan sedikit dari apa yang telah diangkut, namun apa yang menurut Kakek, kamu dan orang lain fikirkan, bukan hanya sebuah hal bodoh. Lebih dari apa yang kita ketahui, ada banyak manfaat dan kebaikan di balik hal tersebut. Sebagaimana ayat yang telah kau bacakan pada Kakek tadi, Nak. Ketika kau menyukai sesuatu boleh jadi sesuatu itu buruk adanya, begitupun sebaliknya, bisa jadi kau membenci sesuatu, padahal sesuatu itu amatlah baik lagi banyak manfaatnya”
                Achmad seketika memasang mimik muka muram. “Seharusnya Achmad bisa mengetahui hal ini sejak pertama melewati jalan ini tadi Kek. Achmad bodoh!”
                “Jangan sekali-kali merutuki ciptaan Allah, Nak. Kau tidaklah bodoh, sama sekali tidak bodoh, hanya saja kau terlalu tergesa-gesa hingga memudarlah rasa sabarmu itu”
                Achmad tersenyum puas dan seketika memeluk Kakeknya. 

                “Mari Kek. Segerakan sampai di rumah, maka Achmad akan menyarankan semua warga agar melubangi ember pengangkut air mereka dengan paku kecil, supaya semakin banyak manfaat yang kita tebar pada sesama makhluk Allah”
                Keduanya berjalan dengan penuh rasa syukur dalam dadanya.

***
                Alhamdulillah, seberapa kali-pun kita ucap lafadz tersebut tidak akan sebanding dengan apa yang telah Allah berikan pada kita. Nafas yang dapat dihirup sebebas-bebasnya, sinar mentari yang setiap pagi datang menyapa tanpa ingkar barang sehari-pun, air dengan rasa tawar yang dapat selalu menghilangkan dahaga, hujan yang senantiasa membasahi tanah tandus, tak luput semua apa yang melekat pada diri kita.
                Mata yang senantiasa melihat indahnya ciptaan-Nya, hidung yang senantiasa menghirup oksigen tanpa khawatir akan biaya, mulut yang senantiasa dapat berucap mengatakan perkataan yang bermanfaat, telinga yang senantiasa mendengar hal-hal baik, kulit yang senantiasa peka merasakan semilir angin ciptaan-Nya, dan masih banyak lagi ni’mat tak terhitung lainnya, yang apabila kita tulis dengan air gabungan seluruh samudera sebagai tintanya, maka tak akan pernah cukup untuk menuliskannya.
                Maha Suci Allah dengan segala Kuasa dan Kemurahannya, dengan segala Ciptaan dan Kasih Sayang-Nya. Sungguh malulah kiranya jika kita masih melalaikan apa yang Dia perintahkan dan melanggar apa yang Dia larangkan.
                Demikian kisah yang dapat saya lukiskan untuk menggambarkan bertapa Kuasanya Allah, KemahaTahuanNYA, KemurahanNYa dan Kasih SayangNYA. Semoga kita semua tergolong umat yang senantiasa bersyukur dan sadar akan ketidaktahuan kita atas hal-hal yang Allah berikan. Bersama kita harapkan ridho Allah, hingga sudilah Ia mengizinkan kita semua memandang WajahNya kelak. Amiin :)

Rabu, 21 Oktober 2015

PURRY WARDANI MAR'ATUSY SYAHIDAH KARYA PURRY DINDA RENANTHERA MATUTINA PURRY WARDANI

Biarkan Gadgetmu Berbicara :)



LINESTORY
AKU, DIA DAN LINE J

            Kisah ini berawal dari beberapa bulan yang lalu ketika mobilku terperosok di lumpur jalanan sebuah desa. Aku dan temanku sedang menyurvei tempat yang akan dijadikan area perkemahan di sebuah Desa di Bandung.
            Sore itu hujan lebat. Perjalan yang awalnya lancar - lancar saja, menjadi tersendat ketika mobilku terperosok di kubangan jalanan berlumpur. Aku hanya berdua dengan temanku, Nida. Namun Nida sedang dalam kondisi tidak fit untuk berjalan apalagi untuk mendorong mobil keluar dari lumpur. Ia juga tidak terbiasa menyetir mobil. Maka, kami hanya menunggu ada seseorang yang berbaik hati membantu mendorong mobil kami. Atau dengan terpaksa kami harus menunggu rombongan teman kami yang baru akan datang malam nanti.
            Adzan maghrib berkumandang, aku dan Nida beranjak dari mobil berlari kecil mengikuti arah suara Adzan dari surau terdekat. Ramai sekali anak-anak mengaji. Selepas  sholat berjamaah, ada seorang anak perempuan cantik mendekati kami dan  bertanya dengan kata-kata yang kurang jelas karena Ia ternyata tunawicara. Melihat wajah Nida yang pucat dan juga baju kami yang basah, ia menawarkan pinjaman payungnya kepada kami.
            Kami tersenyum, betapa anak ini berhati lembut. Akhirnya kami bertiga berjalan menuju mobil yang terjebak lumpur. Sebelum aku dan Nida membuka pintu mobil, gadis kecil ini mencoba menjelaskan sesuatu tapi kami tak mengerti. Seketika  anak itu berlari kembali ke arah surau. Kami berfikir bahwa anak tersebut hanya ingin cepat kembali bersama teman - teman sebayanya. Kami masuk ke mobil dan kembali meminta bantuan dari teman melalui telp agar mereka cepat menyusul.
            Tiba-tiba segerombolan orang datang menghampiri kami dengan anak perempuan tadi di sela-sela mereka. Aku bingung. Kemudian seseorang yang sempat aku lihat di surau tadi mengetuk kaca mobil. Mereka menewarkan bantuan kepada kami. Alangkah senangnya kami.
            Dengan bantuan 4 orang dewasa, akhirnya mobil kami terbebas dari genangan lumpur. Aku mengucapkan banyak terimakasih kepada semua orang yang telah membantu kami. Juga kepada anak perempuan itu, aku mencoba memberi beberapa lembar uang, namun mereka menolak. Dengan perasaan terharu kami melanjutkan perjalanan ke tempat yang kami tuju.
            Lama setelah kejadian itu aku tidak pernah bertemu dengan mereka yang pernah menolongku. Namun bulan suci Ramadhan mempertemukan kami lagi. Aku melihat anak perempuan itu sedang berjualan takjil di Area perkemahan yang waktu itu aku survei. Aku sebagai penanggung jawab event Ramadhan itu mempunyai ide untuk sedikit membantunya berjualan, karena ia tidak bisa mempromosikan kolak pisang  yang ia jual dengan keterbatasannya.
            Aku ambil foto anak tadi, lalu aku share di applikasi Line yang aku miliki. Aku promosikan jajanan yang ia jual kepada teman-temanku, tanpa ia ketahui sebelumnya. Aku hanya tersenyum dari tempat aku berdiri mendapati ia sedang sibuk melayani pembeli yang sebenarnya adalah teman-temanku. Setelah adzan maghrib berkumandang aku menemui anak tadi dan menawarkan untuk berbuka bersama di tenda kami. Sebelumnya ia tersenyum sambil menunjukan keranjang tempat kolak pisang tadi kosong karena habis terjual. Aku pun ikut tersenyum. Terimakasih Line telah membantuku dan membantunya.



_End_

By : Puri Wardani
















Jumat, 16 Oktober 2015

ENTAHLAH



Jakarta, 13 Oktober 2015
                Saat aku tumbuh dewasa, aku ingin melewati hari sebagai seorang yang bisa hidup mandiri, berdiri sendiri. Bukan untuk sombong atau semacamnya. Aku hanya ingin berdiri dengan kakiku sebagai tumpuan, seperti wanita kuat lain, seperti normalnya manusia dewasa yang mulai melepas tumpuan selain dari pada kemampuannya sendiri agar tidak membuat orang lain roboh bahkan jatuh tersungkur menanggung beban lebih dari kapasitasnya
aku pernah membuat keputusan, dan setiap aku bingung saat menemui persimpangan aku mencoba bercerita menunggu seseorang menyemangati dan membuatku bangkit namun itu hanya mimpi belaka, yang aku dapat hanya cemoohan dan penilaian salah yang bertubi-tubi dari semua sisi. Kadang aku berfikir kapan saatnya tiba, aku menjadi seseorang yang bisa menentukan kemana arah hidup ini berjalan  tanpa penyesalan. Kenapa aku selalu bodoh dan ceroboh mengambil keputusan. Apa memang aku ditakdirkan untuk selalu menjadi anak penurut yng harus dituntun agar tidak salah langkah ? Agar tidak ada yang menyalahkan ? Agar selalu mendapat dukungan ? Agar selalu sadar diri siapa aku ? Dimana aku ? Apa tujuan hidupku ? Apa hanya dengan menuruti apa perkataan mereka aku bisa mebuat mereka bangga dan menyebutku bagian dari mereka ? Hanya cara itukah yang tersisa ?

Senin, 16 Maret 2015

cerpen



SIAPA PASIENNYA ?



            Matahari begitu terik, suara gaduh di ruang tunggu pun menambah kacau suasana rumah sakit siang itu. Beberapa orang masih berdesakkan mengantri di ruang pendaftaran. Tidak heran dengan keadaan seperti ini, karena rumah sakit ini memang selalu ramai dikunjungi sebagai salah satu rumah sakit rujukan dari puskesmas di daerah Purwokerto.
            Aku sendiri baru keluar dari poli THT, kecelakaan di kolam renang membuat telingaku bermasalah sampai berdarah dan harus mendapat perawatan lanjutan karena gendang telinga kiriku hampir robek. Sambil menahan rasa nyeri di telingaku, aku berjalan membuntuti ibuku. Resep yang tadi diberikan oleh dokter spesialis diselipkan di atas etalase ruang farmasi.
            Siang itu ruang tunggu didepan apotek benar-benar penuh, hanya tersisa satu bangku. Dan akhirnya ibuku yang duduk diruang tunggu depan apotek. Ibu menyuruhku duduk menunggunya di ruang tunggu di depan poli THT. Di tempat itupun hampir semua bangku terisi, namun syukurlah masih tersisa satu bangku untuk aku duduki.
            Disela- sela waktu menuggu yang membosankan, aku berfikir “dari sekian banyak manusia disekelilingku, adakah yang aku kenal ? Atau siapapun yang bisa aku ajak berbicara sekedar berbasa basi menghilangkan rasa bosan menunggu ?” 
            Aku mulai memutar kepala, melirik kanan kiri depan belakang, dan pandanganku terhenti pada seorang wanita paruhbaya di belakangku. Ia tersenyum padaku, senyum penuh arti, tapi entah apa maksudnya. Dan aku sebagai seseorang yang mengerti tatakrama dan sopan santun, membalas senyumnya meski dengan benak penuh tanda tanya. “Siapa wanita itu ? ; apa ia mengenalku?  ; mengapa ia tersenyum padaku ? ; apa maksud senyumnya itu ? ; apa ia tersenyum geli melihat tingkahku yang aneh (tengok kanan kiri dan memperhatikan setiap orang di sekelilingku) ? ; jika ia hanya tersenyum karena keramah tamahannya, mengapa ia hanya tersenyum padaku ? ; apa menurutnya aku tidak sopan memandang orang-orang dan memperhatikannya satu persatu ?” kira kira seperti itulah rasa penasaranku. Entahlah, sejauh yang aku tau bahwa tersenyum kepada seseorang termasuk ibadah, selama itu tidak berlebihan.
            Mendapat senyuman wanita tadi membuatku menghetikan aksiku. Aku kembali diam tertunduk sambil sesekali membenarkan posisi duduk yang semakin tidak nyaman karena lama menunggu ibu. Tiba-tiba aku mendengar suara gaduh di bangku belakang. Saat aku coba mencari tau, aku melihat wanita yang tadi tersenyum padaku, sedang dibujuk oleh seorang laki-laki yang aku rasa adalah suami atau anggota keluarganya. Wanita itu tampaknya enggan masuk ke poli untuk diperiksa. Dilihat dari kondisi badannya, ia sama sekali tidak terlihat seperti orang sakit pada umumnya. Mungkin karena ia merasa tidak sakit maka ia enggan sekali meski seseorang telah membujuknya.
            Laki-laki itu tampak kesal dan terus membujuk dengan sedikit berteriak,sedang si wanita balas berteriak namun tetap bergeming dari tempat duduknya. Akhirnya dua orang perawat datang demi mendengar kegaduhan itu, dan menuntun si wanita menuju poliklinik,sedang laki-laki tadi mengikuti di belakang dengan muka penuh kesal. Aku heran, mengapa wanita itu harus dipaksa untuk berobat kalau  memang tidak sakit dan tidak merasa sakit ?
            Belum habis rasa penasaran ini, aku kaget saat mengetahui ke arah mana dua perawat yang menuntun wanita itu berjalan. Poliklinik demi poliklinik dilewati dan menuju poliklinik paling ujung dari deretan ruangan pemeriksaan. Saat aku membaca tulisan yang terpajang di daun pintu poli yang mereka masuki, aku diam sesaat untuk kemudian menahan hasrat untuk tertawa. Di satu sisi aku geli dengan tingkahku tadi, tapi di sisi lain aku dalam keaadan sendiri yang tidak memungkinkan untuk bisa tertawa lepas.
            Aku menutup mulut dan hidungku berpura-pura batuk, padahal aku sedang terlanjur tersenyum geli mengingat apa yang baru saja aku alami, tersenyum pada seorang wanita yang memang tidak aku  kenal dimana wanita tersebut ternyata adalah pasien yang sedang menuggu antrean dari poliklinik kejiwaan. Jika wanita tadi adalah pasien poli kejiwaan, artinya aku baru saja berbalas senyuman dengan orang yang sakit kejiwaannya.
            Semua pertanyaan yang tadi ada dalam benakku langsung musnah dengan satu aksi si wanita dengan laki-lakinya dan dua perawat yang memasuki sebuah ruangan  tak terduga. Pantas saja senyumnya aneh dan penuh makna, entah apa maknanya, mungkin hanya dia seorang yang tau, dan aku ? Apa karena aku baru saja tersenyum geli disaat aku sedang duduk tanpa teman bicara bisa dipanggil dan menjadi pasien setelah wanita itu ? Demi berfikir seperti itu aku langsung pergi ke arah apotek dan tertawa pada ibuku tanpa menceritakan apa alasan dari kegelianku. Tentu saja ibuku terheran melihatku tiba-tiba datang dan langsung tertawa tanpa alasan. Jadi, siapa pasiennya ??



_END_