KUMPULAN KARYA SASTRAKU -->

Senin, 16 Maret 2015

cerpen



SIAPA PASIENNYA ?



            Matahari begitu terik, suara gaduh di ruang tunggu pun menambah kacau suasana rumah sakit siang itu. Beberapa orang masih berdesakkan mengantri di ruang pendaftaran. Tidak heran dengan keadaan seperti ini, karena rumah sakit ini memang selalu ramai dikunjungi sebagai salah satu rumah sakit rujukan dari puskesmas di daerah Purwokerto.
            Aku sendiri baru keluar dari poli THT, kecelakaan di kolam renang membuat telingaku bermasalah sampai berdarah dan harus mendapat perawatan lanjutan karena gendang telinga kiriku hampir robek. Sambil menahan rasa nyeri di telingaku, aku berjalan membuntuti ibuku. Resep yang tadi diberikan oleh dokter spesialis diselipkan di atas etalase ruang farmasi.
            Siang itu ruang tunggu didepan apotek benar-benar penuh, hanya tersisa satu bangku. Dan akhirnya ibuku yang duduk diruang tunggu depan apotek. Ibu menyuruhku duduk menunggunya di ruang tunggu di depan poli THT. Di tempat itupun hampir semua bangku terisi, namun syukurlah masih tersisa satu bangku untuk aku duduki.
            Disela- sela waktu menuggu yang membosankan, aku berfikir “dari sekian banyak manusia disekelilingku, adakah yang aku kenal ? Atau siapapun yang bisa aku ajak berbicara sekedar berbasa basi menghilangkan rasa bosan menunggu ?” 
            Aku mulai memutar kepala, melirik kanan kiri depan belakang, dan pandanganku terhenti pada seorang wanita paruhbaya di belakangku. Ia tersenyum padaku, senyum penuh arti, tapi entah apa maksudnya. Dan aku sebagai seseorang yang mengerti tatakrama dan sopan santun, membalas senyumnya meski dengan benak penuh tanda tanya. “Siapa wanita itu ? ; apa ia mengenalku?  ; mengapa ia tersenyum padaku ? ; apa maksud senyumnya itu ? ; apa ia tersenyum geli melihat tingkahku yang aneh (tengok kanan kiri dan memperhatikan setiap orang di sekelilingku) ? ; jika ia hanya tersenyum karena keramah tamahannya, mengapa ia hanya tersenyum padaku ? ; apa menurutnya aku tidak sopan memandang orang-orang dan memperhatikannya satu persatu ?” kira kira seperti itulah rasa penasaranku. Entahlah, sejauh yang aku tau bahwa tersenyum kepada seseorang termasuk ibadah, selama itu tidak berlebihan.
            Mendapat senyuman wanita tadi membuatku menghetikan aksiku. Aku kembali diam tertunduk sambil sesekali membenarkan posisi duduk yang semakin tidak nyaman karena lama menunggu ibu. Tiba-tiba aku mendengar suara gaduh di bangku belakang. Saat aku coba mencari tau, aku melihat wanita yang tadi tersenyum padaku, sedang dibujuk oleh seorang laki-laki yang aku rasa adalah suami atau anggota keluarganya. Wanita itu tampaknya enggan masuk ke poli untuk diperiksa. Dilihat dari kondisi badannya, ia sama sekali tidak terlihat seperti orang sakit pada umumnya. Mungkin karena ia merasa tidak sakit maka ia enggan sekali meski seseorang telah membujuknya.
            Laki-laki itu tampak kesal dan terus membujuk dengan sedikit berteriak,sedang si wanita balas berteriak namun tetap bergeming dari tempat duduknya. Akhirnya dua orang perawat datang demi mendengar kegaduhan itu, dan menuntun si wanita menuju poliklinik,sedang laki-laki tadi mengikuti di belakang dengan muka penuh kesal. Aku heran, mengapa wanita itu harus dipaksa untuk berobat kalau  memang tidak sakit dan tidak merasa sakit ?
            Belum habis rasa penasaran ini, aku kaget saat mengetahui ke arah mana dua perawat yang menuntun wanita itu berjalan. Poliklinik demi poliklinik dilewati dan menuju poliklinik paling ujung dari deretan ruangan pemeriksaan. Saat aku membaca tulisan yang terpajang di daun pintu poli yang mereka masuki, aku diam sesaat untuk kemudian menahan hasrat untuk tertawa. Di satu sisi aku geli dengan tingkahku tadi, tapi di sisi lain aku dalam keaadan sendiri yang tidak memungkinkan untuk bisa tertawa lepas.
            Aku menutup mulut dan hidungku berpura-pura batuk, padahal aku sedang terlanjur tersenyum geli mengingat apa yang baru saja aku alami, tersenyum pada seorang wanita yang memang tidak aku  kenal dimana wanita tersebut ternyata adalah pasien yang sedang menuggu antrean dari poliklinik kejiwaan. Jika wanita tadi adalah pasien poli kejiwaan, artinya aku baru saja berbalas senyuman dengan orang yang sakit kejiwaannya.
            Semua pertanyaan yang tadi ada dalam benakku langsung musnah dengan satu aksi si wanita dengan laki-lakinya dan dua perawat yang memasuki sebuah ruangan  tak terduga. Pantas saja senyumnya aneh dan penuh makna, entah apa maknanya, mungkin hanya dia seorang yang tau, dan aku ? Apa karena aku baru saja tersenyum geli disaat aku sedang duduk tanpa teman bicara bisa dipanggil dan menjadi pasien setelah wanita itu ? Demi berfikir seperti itu aku langsung pergi ke arah apotek dan tertawa pada ibuku tanpa menceritakan apa alasan dari kegelianku. Tentu saja ibuku terheran melihatku tiba-tiba datang dan langsung tertawa tanpa alasan. Jadi, siapa pasiennya ??



_END_


3 komentar: